Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.
Polemik Rocky Gerung dan KDM Seputar Barak Militer dan Pendidikan Anak
Kamis, 7 Agustus 2025 10:09 WIB
Perdebatan antara Rocky Gerung dan Dedi Mulyadi mengenai implementasi barak militer untuk pendidikan anak menghadirkan dua perspektif kontras
Menganalisis polemik antara Rocky Gerung dan Dedi Mulyadi terkait peran militer dalam pendidikan anak, khususnya dalam konteks penanganan kenakalan remaja. Rocky Gerung memposisikan militer sebagai institusi non-pedagogis yang substansinya bertentangan dengan prinsip pendidikan, sementara Dedi Mulyadi mengadvokasi konsep "militer yang guru" yang mengintegrasikan disiplin militer dengan fungsi pedagogis.
Kontradiksi ini mencerminkan tension fundamental antara paradigma pendidikan humanistik dan pendekatan disciplinary dalam pembentukan karakter anak.
Perdebatan antara Rocky Gerung dan Dedi Mulyadi mengenai implementasi barak militer untuk pendidikan anak menghadirkan dua perspektif kontras tentang fungsi institusi militer dalam society. Rocky Gerung, sebagai filsuf dan kritikus sosial, mengkritik substansi militer sebagai anti-pedagogis, sementara Dedi Mulyadi, sebagai praktisi lapangan, melihat potensi pedagogis dalam struktur dan disiplin militer untuk mengatasi kenakalan remaja.
Militer sebagai Entitas Non-Pedagogis
Rocky Gerung berargumentasi bahwa militer secara substansial bertentangan dengan prinsip pedagogis. Dalam pandangannya, institusi militer dibangun atas dasar command-obedience structure yang menafikan critical thinking dan autonomous reasoning yang merupakan essence dari pendidikan sejati. Militer, menurutnya, melatih kepatuhan buta (blind obedience) bukan kemampuan berpikir kritis yang diperlukan dalam proses pendidikan.
Gerung menekankan bahwa sistem identitas militer berbasis hierarki dan uniformitas yang bertentangan dengan diversitas dan creativity yang diperlukan dalam pengembangan potensi anak. Pendekatan militer yang menekankan discipline through coercion tidak sejalan dengan pedagogical approach yang mengutamakan understanding dan internalization of values. Dalam perspektif ini, menggunakan struktur militer untuk pendidikan anak merupakan contradiction in terms yang dapat merusak esensi pendidikan itu sendiri.
Konsep "Militer yang Guru"
Dedi Mulyadi mengambil posisi pragmatis dengan mengusulkan konsep "militer yang guru" sebagai solusi untuk mengatasi kenakalan remaja. Dalam pandangannya, institusi militer memiliki kapasitas pedagogis yang dapat diadaptasi untuk kebutuhan pendidikan, khususnya dalam hal pembentukan karakter dan disiplin. Mulyadi berargumentasi bahwa militer telah mengakomodasi prakondisi masyarakat melalui berbagai program pelatihan dan edukasi yang mempersiapkan individu untuk dunia kerja.
Konsep "militer yang guru" tidak mengadopsi seluruh aspek militer, melainkan mengintegrasikan elemen-elemen positif seperti struktur, disiplin, dan sense of responsibility dengan pendekatan pedagogis yang humanis. Mulyadi melihat bahwa dalam kondisi krisis kenakalan remaja, pendekatan konvensional pendidikan tidak cukup efektif, sehingga diperlukan intervention yang lebih struktural dan sistematis seperti yang dapat disediakan oleh adapted military approach.
Sistem Identitas dan Intuisi Subjek
Kontradiksi fundamental antara kedua posisi terletak pada pemahaman tentang sistem identitas dan peran intuisi subjek dalam proses pendidikan. Rocky Gerung menekankan bahwa subjek dalam sistem militer kehilangan otonomi dan menjadi objek dari sistem command yang rigid. Dalam paradigma non-pedagogis ini, intuisi dan creativity subjek ditekan demi uniformitas dan predictability.
Sebaliknya, Dedi Mulyadi berargumentasi bahwa sistem identitas dalam "militer yang guru" dapat dimodifikasi untuk mengakomodasi pengembangan subjek yang autonomous namun disciplined. Dalam pandangannya, struktur militer dapat menjadi framework yang memberikan boundaries yang jelas dalam mana creativity dan critical thinking dapat berkembang secara optimal.
Perbedaan ini mencerminkan tension antara educational philosophy yang menekankan freedom dan spontaneity versus yang mengutamakan structure dan discipline. Sementara Gerung melihat kedua aspek ini sebagai mutually exclusive, Mulyadi berargumentasi bahwa keduanya dapat diintegrasikan dalam model hybrid yang mengambil kekuatan dari masing-masing pendekatan.
Implikasi Praktis dan Teoritis
Dari perspektif praktis, polemik ini menghadirkan pertanyaan tentang efektivitas berbagai pendekatan dalam mengatasi krisis pendidikan dan kenakalan remaja. Rocky Gerung menekankan pentingnya mempertahankan integrity pedagogical principles meskipun menghadapi tantangan praktis, sementara Dedi Mulyadi mengutamakan pragmatic solutions yang dapat memberikan hasil konkret dalam jangka pendek.
Secara teoritis, perdebatan ini mencerminkan tension yang lebih luas dalam educational philosophy antara progressive education dan traditional approaches. Progressive education, yang sejalan dengan posisi Gerung, menekankan student-centered learning dan development of critical consciousness. Sementara traditional approaches, yang lebih dekat dengan posisi Mulyadi, mengutamakan character formation melalui discipline dan structured environment.
Sintesis dan Jalan Tengah
Meskipun kedua posisi tampak contradictory, kemungkinan sintesis dapat ditemukan dalam konsep differentiated pedagogy yang mengakui bahwa different students may require different approaches. Untuk anak-anak dengan severe behavioral problems, structured intervention dengan elemen-elemen adapted dari military discipline mungkin diperlukan sebagai starting point, namun dengan gradual transition menuju more autonomous learning environment.
Kunci dari sintesis ini adalah recognition bahwa pedagogy bukanlah monolithic concept, melainkan diverse practice yang dapat mengadaptasi berbagai methodologies sesuai dengan context dan needs. Yang penting adalah memastikan bahwa tujuan akhir tetap pada pengembangan autonomous, critical, dan responsible citizens, regardless of the specific methods yang digunakan.
Polemik antara Rocky Gerung dan Dedi Mulyadi menghadirkan fundamental questions tentang nature of education dan role of discipline dalam character formation. Sementara Gerung mempertahankan philosophical purity dalam memisahkan militer dari pedagogi, Mulyadi mengusulkan pragmatic adaptation yang dapat memberikan solutions untuk immediate problems. Perdebatan ini menunjukkan complexity dari educational challenges dalam konteks contemporary Indonesia dan perlunya nuanced approaches yang dapat mengintegrasikan various perspectives dalam framework yang coherent dan effective.
Ultimately, resolusi dari polemik ini tidak terletak pada choosing one position over another, melainkan dalam developing sophisticated understanding tentang how different educational approaches dapat diintegrasikan untuk serve diverse needs dari student population yang heterogen. Yang diperlukan adalah continued dialogue dan empirical research untuk mengidentifikasi best practices yang dapat menggabungkan rigor dari structured approaches dengan creativity dan critical thinking yang essential untuk democratic citizenship.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Parau
Senin, 1 September 2025 14:51 WIB
Mahmudat Ikhwanat Dipanggil Hamidah, Sebuah Anekdot Linguistik
Senin, 1 September 2025 14:50 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler